suryapagi.com
NEWS

Minta Diakui UU Ketenagakerjaan, Pekerja Rumahan Gugat ke MK

SPcom JAKARTA – Para pekerja rumahan menggugat UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meminta agar makna UU Ketenagakerjaan diluaskan sehingga pekerja rumahan masuk perlindungan UU tersebut.

“Pemohon I (Muhayati) merupakan pekerja rumahan sejak tahun 2004, memperoleh pekerjaan dan perintah kerja secara lisan dari seorang individu yang bertindak sebagai perantara untuk menjahit produk yang dihasilkan dalam kaus kaki dan sarung tangan bayi,” kata pengacara pemohon, Wilopo Husodo, yang tertuang dalam risalah sidang MK, Rabu (3/8/2022).

Pemohon II, Een Sunarsih, adalah perantara untuk membuat kemasan kertas makanan siap saji ayam goreng dan pemohon III Dewiyah adalah perantara yang mengaku karyawan pabrik.

Ada juga Kurniyah dan Sumini, yang mengerjakan produk furnitur berbahan rotan berupa kursi dan meja serta anyaman rotan, seperti hiasan rumah.

“Pada tahun 2017, Para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan mengenai status perlindungan hukum pekerja rumahan. Namun, pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa istilah pekerja rumahan tidak dikenal Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003,” kata Wilopo Husodo.

Oleh sebab itu, pemohon menggugat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan:

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

“Menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai ‘hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah,” demikian bunyi petitum pemohon.

Alasannya, pemohon menilai adanya kerancuan hukum dan tumpang tindih antara istilah atau definisi ‘pengusaha’ dan ‘pemberi pekerja’ dalam konteks hubungan kerja. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menyatakan:

Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

“Bahwa apabila mengacu pada Pasal 1 huruf c Konvensi ILO 177 Tahun 1996 tentang Kerja Rumahan, definisi pemberi kerja disebutkan seseorang, perorangan, atau badan hukum yang secara langsung atau melalui perantara, baik perantara yang diatur dalam perundang-undangan nasional ataupun tidak, memberikan kerja rumahan dalam pelaksanaan kegiatan usahanya,” ucapnya.

Dalam konteks Para Pemohon selaku pekerja rumahan, pemberi kerja adalah individu perantara yang menerima perintah dari perusahaan, lalu perintah tersebut diberikan untuk dikerjakan oleh pekerja rumahan.

“Dengan adanya pembedaan antara pemberi kerja dan pengusaha, kemudian dikaitkan dengan istilah hubungan kerja, maka sangat jelas menimbulkan kerancuan hukum, dimana seolah-olah pemberi kerja dan pengusaha memiliki status hukum yang berbeda, di satu sisi istilah hubungan kerja hanya berlaku bagi pengusaha,” bebernya.

Judicial review ini sudah memasuki tahap pendahuluan dan akan digelar lagi sidang pada 15 Agustus 2022. (SP)

Related posts

Heboh! Pondok Pesantren Al-Zaytun Dibakar, Polisi Buka Suara

Ester Minar

Hati-hati, BPOM Temukan Kandungan Formalin Pada Sejumlah Makanan di Pasar Tradisional

Ester Minar

Viral! Mobil Polisi Ugal-ugalan Saat Kawal Camry

Ester Minar

Leave a Comment