SPcom JAKARTA – Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), dan Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menggugat UU Nomor 17/2023. IDI dan kawan-kawan (dkk) meminta UU Kesehatan yang baru itu dibatalkan karena dinilai tidak memenuhi syarat formil pembentukan UU.
“Menyatakan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang menurut UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” demikian berkas gugatan yang dilansir website MK, Kamis (5/10/2023).
IDI dkk mengajukan sejumlah alasan menolak UU itu. Salah satu argumennya tudingan pembuatan UU yang tidak partisipatif.
“Penghalangan keterlibatan dan partisipasi bermakna dalam menyampaikan pendapat, bukan saja tidak dibenarkan dari prosedural formil dalam pembentukan UU, namun juga mengindikasikan adanya risiko ketika hendak menyuburkan tumbuhnya prinsip partisipasi bermakna (meaningful participation) yang baru saja disemaikan dari putusan MK RI. Adanya penghalangan terhadap keterlibatan dan partisipasi serta kemerdekaan menyampaikan pendapat menjadi bukti tidak dilakukannya secara substantif meaningful participation dalam pembahasan RUU Kesehatan pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2023,” bebernya.
Alasan lainnya, pembentukan itu dinilai tidak melibatkan DPD.
“Dengan tidak adanya pertimbangan DPD RI yang disampaikan kepada DPR RI sesuai dengan amanat Pasal 22D ayat 2 UUD Negara RI Tahun 1945, maka pembahasan dan pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2023 a quo cacat formil karena tidak sesuai dan bertentangan dengan UUD Negara RI taun 1945 Pasal 22D ayat 2, sehingga beralasan menyatakan pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 Pasal 22D ayat 2; dan menyatakan UU,” ungkapnya.
IDI dkk juga menyatakan pembuat UU meniadakan pendapat IDI dkk atas hak untuk didengar, dipertimbangkan, diberikan mendapat jawaban penjelasan.
“Dalam menyampaikan pendapat substansi materi hukum dan legal reasoning perihal RUU Kesehatan, tiap-tiap organisasi profesi cq PARA PEMOHON dijamin haknya mulai dari hak untuk didengar (rights to be heard) dalam proses formil pembentukan UU (due process of law making), terlebih organisasi profesi adalah stakeholder utama yang terdampak langsung dan/atau mempunyai kepentingan atas pembentukan UU Nomor 17 Tahun 2023,” ucapnya.
Alasan lain, IDI dkk menilai masukannya tidak diserap oleh DPR.
“Walaupun para pemohon berhak untuk didengar pendapatnya (rights to be heard) atas substansi materi muatan dan legal reasoning disampaikan, utamanya ‘pasal-pasal jantung’ mengenai organisasi profesi tunggal, Konsil independen, Kolegium sebagai academic body organisasi profesi, majelis kehormatan disiplin kedokteran/ kesehatan, perlindungan hukum tenaga medis dan tenaga kesehatan, registrasi, surat tanda registrasi (STR) 5 tahun bukan seumur hidup, surat izin praktik (SIP) dengan rekomendasi, pendanaan kesehatan wajib (mandatory spending), ketentuan pidana, ketentuan penutup yang menghapuskan sejumlah UU terkait, namun pembuat UU mengabaikan,” ungkap IDI dkk.
DPR dinilai hanya merekam masukan, tapi tidak memasukan ke dalam rumusan pasal baru.
“Walau pembuat UU terikat mendengar pendapat sebagai konsekwensi pemenuhan hak untuk didengar (right to be heard), namun hanya direkam saja namun berlalu dan tidak hendak dipertimbangkan dan bahkan tidak tersedia mekanisme formil mempertimbangkan dan tanggapan balik atas substansi usulan. Terbukti pembuat UU tetap saja mengesahkan ‘pasal-pasal jantung’ dari norma organisasi profesi dapat dibentuk,” tegasnya.
Gugatan itu sudah didaftarkan di MK dan sedang diproses kepaniteraan. (SP)