SPcom JAKARTA – Mantan karyawan PT Fajar Indah Cakra Cemerlang bernama Wartono (57) melaporkan Edi Darmawan Salihin, ayah dari mendiang Wayan Mirna Salihin, yang merupakan direktur utama perusahaan itu.
Pengacara pelapor, Manganju Hamonangan Simanullang mengatakan, laporan dilayangkan atas dugaan tunggakan pesangon karyawan yang terkena PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) pada 21 Februari 2018.
“Alasan PHK-nya waktu itu singkatnya, efisiensi. Tapi kalau ditelusuri ke belakang waktu itu ada ketidakstabilan pembayaran gaji, sehingga karyawan melakukan demonstrasi,” ujar Manganju, Selasa (7/11/2023).
Selain ayah Mirna Salihin, terlapor lain dalam kasus ini adalah Made Sandy Salihin, Ni Ketut Sianti, dan Febriana Salihin sebagai pihak perusahaan. Pelapor menuntut pihak perusahaan membayar pesangon, penghargaan masa kerja, dan ganti rugi karyawan.
Ketentuan itu berdasarkan putusan Pengadilan Hubungan Industrial Jakarta Pusat pada 18 Oktober 2018 yang sudah berkekuatan hukum tetap.
“Totalnya perusahaan dihukum untuk membayar Rp 3,5 miliar, kurang lebih untuk 38 orang karyawan,” kata Manganju.
Dia mengatakan pihak perusahaan belum membayar para karyawannya yang terkena PHK tersebut hingga saat ini.
Sebelum PHK, kata Manganju, perusahaan sempat telat bayar gaji karyawan selama delapan bulan. Para karyawan juga pernah demonstrasi dan bermusyawarah dengan pihak perusahaan, namun tidak menemukan kesepakatan.
“Sebenarnya yang di-PHK itu kurang lebih 800, tetapi yang berani tetap berjuang di pengadilan itu 38 orang,” ucap Manganju.
Perusahaan ayah Mirna, PT Fajar Indah Cakra Cemerlang, bergerak di bidang ekspedisi dan jasa pengiriman. Puluhan eks karyawan memutuskan melaporkan Edi Darmawan Salihin ke polisi karena pihak perusahaan diduga tidak mematuhi putusan pengadilan.
Para terlapor diduga melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 juncto Pasal 156 ayat (2), (3) dan (4).
Wartono mengatakan sudah bekerja untuk perusahaan selama 21 tahun sebagai kurir. Kondisi perusahaan pada awalnya baik, kekeluargaan, gaji pun lancar.
“Saya juga sempat negor Pak Edi. ‘Pak, ini kalau cara penggajian begini, karyawan gak bisa makan, ada yang nyicil motor, ada yang rumah juga’,” ujarnya.
Setelah pembayaran gaji tertunda hingga delapan bulan, Wartono mengatakan Edi Darmawan pernah mengatakan 3 bulan kemudian gaji akan lancar lagi.
Namun pada 2018, perusahaan melakukan PHK besar-besaran. Kantornya pun disebut sudah ditutup dan tidak ada kegiatan.
Dahulu, kata Wartono, Edi mudah ditemui dan sering mengobrol dengan karyawannya.
“Sejak kejadian PHK besar-besaran itu susah, nggak bisa ketemu,” katanya.
Dia berharap Edi mendengar keluhan para karyawannya. Wartono dan eks karyawan lain masih membuka negosiasi, pemberian pesangon pun tidak harus Rp 3,5 miliar.
Menanggapi tuntutan itu, Edi Darmawan mengklaim sudah membayar pesangon. Dia bilang jasa kurir perusahaan itu bubar karena ulah karyawan.
“5 hari nggak masuk, ngambil uang harian tapi nggak dijalankan tugasnya, saya bubarin,” tuturnya saat dihubungi.
Ayah Wayan Mirna Salihin itu tidak mempermasalahkan mantan karyawannya melapor ke polisi. Edi menyebut pernah ada laporan sebelumnya ke Polda Metro Jaya, tetapi sudah diberhentikan penyidikannya. (SP)