Misteri tentang penghuni kampung yang tak pernah bertambah maupun berkurang itu seolah menjadi tirai yang tak kunjung tersibak.
SPcom JAKARTA – Kawasan Kampung Pitu yang berada di Dusun Krajan Kidul, Desa Temon menjadi kawasan terpencil di Kabupaten Pacitan. Lokasinya tidak begitu jauh dari hiruk pikuk kota kelahiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, atau berjarak 15 kilometer dari pusat kota. Namun, bukan hal itu yang menjadikan Kampung Pitu dikenal hingga keluar desa. Melainkan keberadaan beragam mitos, yang dipercaya turun temurun. Ya, seperti namanya, permukiman kecil itu konon hanya dihuni 7 Kepala Keluarga (KK). Tak boleh kurang atau lebih. Jika jumlahnya berubah diyakini bisa terjadi sesuatu.
Tidak heran, jika secara turun temurun jumlah keluarga yang menghuni kampung yang bernama asli Ngendak tak pernah lebih dari 7 KK. Sebutan Kampung Pitu pun berasal dari kosakata dalam Bahasa Jawa ‘Pitu’ yang berarti tujuh. Misteri tentang penghuni kampung yang tak pernah bertambah maupun berkurang itu seolah menjadi tirai yang tak kunjung tersibak.Pun begitu tak banyak sumber yang dapat bercerita. Namun kisahnya tak tergeser oleh laju peradaban yang lambat laut menembus isolasi wilayah.Ternyata, jumlah keluarga bukan hanya satu-satunya mitos yang menyelimuti Kampung Pitu.
Sebutan ‘Ngendak’ sendiri dalam terminologi masyarakat setempat berarti pergeseran dari atas ke bawah. Hal itu kerap dimaknai jika seseorang pejabat datang ke Kampung Pitu, maka kelak pangkatnya akan turun.Tentu saja tak semua orang mempercayai mitos tersebut. Hanya saja sebagian masih menganggapnya sebagai momok. Tak ayal, selama ini perkampungan yang berbatasan dengan sungai dan hutan itu relatif sepi dari kunjungan. Kecuali mereka yang bermaksud melakukan kegiatan spiritual pada hari-hari tertentu.
“Istilah Ngendak itu dulu dari kata-kata mudhun (turun). Kalau jabatannya tinggi bisa dilorot (diturunkan). Seperti itu,” kata seorang tokoh desa setempat, menirukan pesan sesepuh yang memberinya petuah.Di perkampungan itu juga terdapat sejumlah tempat sakral. Antara lain pendedehan (tempat berjemur) serta sendang (mata air). Di lokasi kedua ini terdapat jejak yang diyakini peninggalan wali. Bukti sejarah lain yang tersisa adalah masjid tua. Tempat ibadah ini sudah direnovasi tanpa mengubah unsur autentiknya. (SP)