Konon jka ada yang melanggar mitos itu, maka akan terkena musibah dan bahkan bisa meninggal dunia
SPcom JAKARTA – Mempercayai mitos sudah menjadi hal biasa dalam beberapa kelompok masyarakat, terutama di desa. Kepercayaan tersebut sudah menjadi kebiasaan turun-menurun dari nenek moyang mereka. Ada hal yang dibolehkan, ada juga larangan yang jika melanggarnya akan mendapat hukuman timbal baliknya. Hal itu seperti di Desa Penimbun, Kebumen, Jawa Tengah, yang memiliki kepercayaan bahwa warganya dilarang berjualan nasi.
Makanya tidak usah heran, jika ada pendatang yang berkunjung ke warung makan di Desa Penimbun, maka mereka tidak akan bisa menemukan nasi di sana. Hal tersebut karena ada sebuah mitos larangan bagi warga Penimbun untuk tidak berjualan nasi. Hal tersebut bisa terjadi karena konon dahulu nenek moyang warga Penimbun berpesan agar warga desanya tidak berjualan nasi.
Jika ada yang melanggarnya, maka akan terkena musibah dan bahkan bisa meninggal dunia. “Warung yang Anda temui hanya akan menjual sebatas lauk, gado-gado, lotek, mi ayam dan juga karedok. Ternyata disinyalir terdapat mitos yang beredar di desa tersebut. Warga setempat memercayai ada satu mitos warisan nenek moyang di mana orang berpantang tidak boleh menjual nasi,” ujar Kasno, salah seorang warga.
Meski ada pantangan untuk berjualan nasi, namun warga masih diperbolehkan menjual ketupat atau lontong meski bahan dasarnya sama. Hal itu karena makanan itu memiliki julukan yang berbeda. “Kalau lontong atau kupat boleh karena namanya bukan nasi, yang dilarang itu segala nasi misal nasi rames, nasi goreng, nasi uduk, nasi singkong juga nggak boleh,” jelasnya.
Warga di Desa Penimbun hanya boleh memberikan nasi tanpa bertujuan untuk menjualnya dan mendapat uang. Mereka akan sukarela memberi nasi dengan cuma-cuma, dan jika ada yang membayar akan otomatis ditolak. Mitos tersebut diyakini warga Penimbun karena pada zaman dahulu ada seseorang dari luar daerah yang kelaparan dan meminta nasi pada warga setempat.
Akan tetapi karena kondisi ‘paceklik’ atau musim kekurangan bahan makanan sehingga tidak ada yang memberikan nasi. Akhirnya orang tersebut berujar jika suatu saat ada orang luar yang ke desa ini dan kelaparan maka harus diberikan secara cuma-cuma. Karena peristiwa tersebut hingga saat ini warga Penimbun dilarang untuk berjualan nasi.
Warga Penimbun sudah meyakini bahwa mitos tersebut benar adanya, dan jika melanggar akan mendapat musibah. Desa Penimbun sendiri berasal dari kata Tenimbun yang artinya timbunan atau tumpukan batu. Namun karena susah diucapkan, kata Tenimbun akhirnya berubah jadi Penimbun. Timbunan atau tumpukan bebatuan yang merupakan cikal bakal berdirinya desa itu pun hingga kini masih ada dan dikeramatkan oleh warga setempat.
Konon, timbunan batu itu dikumpulkan dalam waktu semalam oleh seorang wali penyebar agama Islam yang saat itu akan membuat masjid sebagai tanda berdirinya desa tersebut. Namun karena saat itu warga masih banyak yang berjudi dan tidak bisa diingatkan, maka masjid itu urung dibuat. “Petilasan ini namanya Panembahan Kuwu Batur yang merupakan cikal bakal desa ini. Dulu mau dibikin masjid di sini oleh salah satu wali tapi belum jadi terus wali itu ke Demak bikin masjid di sana,” tutup Kasno. (SP)