SPcom JAKARTA – Anggota MPR RI dari Kelompok DPD, Al Hidayat Samsu, menyatakan keprihatinannya terhadap kebijakan tarif impor tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat terhadap sejumlah produk dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Menurutnya, kebijakan sepihak ini menjadi ancaman serius bagi perekonomian nasional dan mengancam jutaan tenaga kerja dalam negeri.
“Bangsa ini pernah menjunjung tinggi prinsip kebebasan perdagangan dan toleransi sejak abad ke-16. Kini, di tengah tekanan global, kita harus kembali kepada semangat itu,” ujar Al Hidayat dalam rilis pers, Selasa (6/5/2025).
Ia mengutip pernyataan Sultan Alaudin dari Makassar yang menegaskan bahwa lautan adalah milik bersama dan tidak boleh ada yang melarang pelayaran atau perdagangan di dalamnya. “Nilai-nilai itu harus kita hidupi kembali dalam menghadapi tantangan global hari ini,” tegasnya.
Al Hidayat mengkritik kebijakan tarif tinggi AS yang dirancang sejak era Presiden Donald Trump, di mana beberapa produk Indonesia seperti garmen, tekstil, dan alas kaki dikenai bea masuk hingga 47 persen. Hal ini dinilainya berdampak langsung terhadap ekspor dan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran.
Ia menyayangkan negosiasi pemerintah Indonesia dengan AS belum membuahkan hasil signifikan. Delegasi RI yang dipimpin Menko Perekonomian dan Menteri Keuangan pada 14 April 2025 belum mampu menekan tarif tersebut secara efektif. “Hasilnya belum menggembirakan. Sementara rakyat menunggu perlindungan nyata dari pemerintah,” ujarnya.
Sebagai respons, Al Hidayat memimpin Rapat Komite III DPD RI untuk mendengar langsung suara buruh dari berbagai daerah. Ia menekankan pentingnya mendengar dan merespons keresahan pekerja yang menghadapi ancaman PHK.
Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) pada 2024 menunjukkan sekitar 1,2 juta pekerja Indonesia berisiko kehilangan pekerjaan akibat kebijakan tarif AS. Industri tekstil dan produk tekstil menjadi sektor paling terdampak dengan lebih dari 191 ribu pekerja terancam kehilangan mata pencaharian. Dampak lainnya juga dirasakan oleh sektor makanan dan minuman, serta petani yang menyuplai bahan baku.
Al Hidayat menegaskan, Indonesia tidak bisa terus bergantung pada negosiasi yang tidak membawa hasil konkret. Ia menyerukan perlunya arah baru dalam strategi ekonomi nasional, termasuk memperkuat perlindungan terhadap pekerja sektor informal dan mendorong lahirnya kebijakan perdagangan luar negeri yang lebih berdaulat.
“Kita tidak boleh terus terombang-ambing oleh kebijakan negara besar. Saatnya Indonesia berdiri tegak, memperjuangkan ekonomi yang adil, dan melindungi rakyat dari ketidakpastian global,” tegasnya.
Ia mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali merenungkan semangat kebebasan dan perdagangan adil yang diwariskan para leluhur. “Perjuangan menuju Indonesia yang kuat dan berdaulat dimulai dari langkah berani hari ini,” pungkasnya.