SPcom JAKARTA – Belakangan ini, fenomena nama bayi aneh seperti “Nike”, “Pikachu”, bahkan “Pudding” belakangan jadi sorotan di Jepang. Nama-nama unik dan nyeleneh ini semakin populer dalam beberapa dekade terakhir, lantaran orang tua mereka ingin memberikan identitas berbeda untuk anaknya.
Namun tren ini tak sepenuhnya disambut positif. Banyak pihak, termasuk rumah sakit, sekolah, hingga kantor pemerintahan, mengeluhkan kesulitan dalam mengucapkan dan menulis nama-nama tersebut.
Merespons kekacauan administratif yang muncul, pemerintah Jepang resmi melarang penggunaan nama yang pelafalannya dianggap tidak lazim, atau yang masuk dalam kategori kirakira name, istilah lokal di Jepang untuk nama bayi yang terlalu “unik dan tidak umum”.
“Aturan baru yang mulai berlaku sejak awal pekan ini membatasi penggunaan pelafalan yang tidak umum untuk karakter Kanji. Artinya, orang tua kini hanya boleh menggunakan cara baca yang sudah lazim dikenal masyarakat saat memberi nama anak mereka. Selain itu, pelafalan fonetik juga wajib dicantumkan dalam dokumen pendaftaran,” tulis CNN, Kamis (29/5/2025).
Di media sosial, aturan ini langsung memicu perdebatan. Ada yang menyebut nama bayi aneh sebagai bentuk ekspresi kebebasan orang tua. “Anak-anak bukan milik negara,” tulis salah satu pengguna X (dahulu Twitter).
Namun banyak pula yang setuju dengan larangan ini karena khawatir nama-nama nyentrik justru jadi beban sosial bagi anak, termasuk potensi dibully atau sulit mengurus dokumen resmi.
Masalah muncul karena Jepang menggunakan tiga sistem penulisan, salah satunya Kanji, di mana satu karakter bisa dibaca dengan banyak cara.
Dalam kasus nama bayi aneh, orang tua biasanya mencari karakter Kanji yang bunyinya mirip dengan kata yang mereka inginkan, meskipun bacaan tersebut sebenarnya tidak umum.
Contohnya, orang tua bisa saja ingin menamai anak mereka “Pikachu” dan memilih Kanji secara acak hanya karena cocok secara fonetik, meski karakter tersebut tidak pernah digunakan dalam konteks itu sebelumnya.
Tren seperti ini mirip dengan yang terjadi di Amerika Serikat, di mana orang tua mengubah ejaan nama umum agar terlihat unik, seperti “Ashleigh” alih-alih “Ashley”. Pemerintah Jepang kini menindak hal serupa dengan menolak pendaftaran nama jika cara bacanya tidak sesuai aturan umum.
Fenomena nama bayi aneh sebenarnya bukan hanya terjadi di Jepang. Studi di berbagai negara, termasuk China dan Amerika, menunjukkan bahwa tren memberi nama unik kepada anak meningkat dalam dua dekade terakhir. Alasan utamanya adalah keinginan orang tua untuk menonjolkan identitas, individualitas, atau nilai kebebasan.
Meski begitu, banyak negara tetap memberlakukan batasan. Di Jerman, nama seperti “Gastritis” atau “Borussia” bisa ditolak. Di California, nama bayi hanya boleh menggunakan huruf alfabet, yang menyebabkan pasangan Elon Musk dan Grimes harus merevisi nama anak mereka dari “X Æ A-12” menjadi “X Æ A-Xii”.
Sementara itu, di Selandia Baru, nama seperti “King” atau “Princess” juga dilarang karena dianggap sebagai gelar kehormatan.
Dengan aturan baru ini, pemerintah Jepang berharap bisa menekan angka pendaftaran nama bayi aneh yang berpotensi menyulitkan sistem dan masa depan anak.
Meskipun masih menjadi perdebatan, kebijakan ini menunjukkan bahwa nama bukan sekadar identitas, tapi juga bagian dari sistem sosial yang perlu keteraturan. (SP)