SPcom JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memulai langkah korektif signifikan di sektor tata kelola keuangan negara dan daerah. Penugasan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini bertujuan meningkatkan efektivitas anggaran di tengah maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Salah satu fokus utama koreksi adalah rendahnya efektivitas pengelolaan anggaran daerah. Hingga Agustus 2025, total dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap di perbankan mencapai angka fantastis: Rp233,11 triliun. Angka ini mendekati target efisiensi anggaran tahun 2025 yang ditetapkan Presiden sebesar Rp306,9 triliun.
“Sebagai fakta tidak produktif, pengendapan dana Pemda di bank telah berlangsung bertahun-tahun dan sering dipertanyakan… Tujuan pengendapan dana oleh Pemda tak pernah dijelaskan dan sulit dipahami secara rasional,” demikian isi laporan tersebut.
Rangkaian Koreksi Kebijakan dan Skala Prioritas
Serangkaian kebijakan korektif telah diluncurkan sebagai terapi kejut (shock therapy), antara lain:
Penguatan Likuiditas: Pemerintah menarik Rp200 triliun dana dari Bank Indonesia (BI) untuk disalurkan ke lima daerah, bertujuan menguatkan likuiditas perbankan sebagai dukungan ke sektor riil.
Efisiensi Program: Anggaran program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang tidak terserap sesuai jadwal akan ditarik kembali.
Penolakan Beban APBN: Pemerintah menolak pembebanan APBN untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Whoosh, pembangunan family office, dan penolakan suntikan dana untuk INA.
Pemotongan DBH: Pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) yang ditransfer ke daerah sebagai bagian dari efisiensi anggaran.
Langkah-langkah ini, meskipun menimbulkan diskusi, didasari oleh kebutuhan kejujuran dan realisme terhadap kondisi keuangan negara dan kinerja perekonomian yang belum kuat, terutama dalam menciptakan lapangan kerja baru.
Fokus Pemulihan UMKM dan Pengangguran
Prabowo secara tidak langsung mengajak seluruh pihak menetapkan skala prioritas yang berfokus pada kesejahteraan rakyat. Angka pengangguran muda yang mencapai lebih dari tujuh juta orang, serta kondisi UMKM yang memprihatinkan (diperkirakan 30 juta unit usaha bangkrut pasca-pandemi), menjadi dasar urgensi pemulihan produktivitas dunia usaha nasional.
Presiden telah merealisasikan kebijakan penghapusan utang bagi pelaku UMKM terdampak. Rangkaian koreksi kebijakan ini diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan seluruh potensi nasional untuk memulihkan perekonomian.

