SPcom PONTIANAK – Seorang ibu menyebarkan kondisi putranya yang mengalami kerusakan penis usai dikhitan di Pontianak. Ia menyebut dokter yang menyunat anaknya diduga melakukan kelalaian. Dia pun meminta pertanggungjawaban.
“Dalam proses tersebut telah terjadi kelalaian praktik penanganan khitan yang mengakibatkan terjadi kerusakan fisik pada alat vital berupa kepala penis, pangkal penis dan kulup terbakar,” kata Popi (35), Rabu (18/1/2023).
Popi mengatakan putra sulungnya dikhitan di Pontianak oleh seorang pada 1 April 2022. Saat itu anak pertama dari tiga bersaudara tersebut berusia 9 tahun. Popi menduga adanya malpraktik dalam kasus yang menimpa putranya.
“Lubang saluran penis anak saya tidak lagi normal, berpindah ke bawah,” kata Popi.
Kemudian anaknya dibawa berobat ke RS Fatmawati Jakarta. Hingga kini anak itu sudah menjalani operasi dua kali. Biayanya ditanggung sendiri oleh keluarganya.
“Kami menuntut dokter (yang mengkhitan anaknya) mengganti kerugian biaya selama pengobatan berlangsung, dengan alasan dokter merasa mampu melakukan proses khitan saat kami tanyakan di awal dan bertanggung jawab terhadap segala risiko ke depan,” ujar Popi.
Jika dokter itu tidak mau bertanggung jawab, Popi ingin agar izin praktik dokter itu dicabut dan dikenai pidana. Popi juga sudah mengadu ke Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Pontianak. Popi merasa belum ada iktikad baik dari dokter tersebut setelah empat kali mediasi.
“Saya mau minta ganti biaya perawatan anak saya, kompensasi untuk anak saya, apa yang telah dilalui anak saya sampai harus dilakukan operasi besar dua kali dari bulan empat lalu,” kata Popi.
“Anak saya harus dipaksa diet demi operasi kedua ini bukan main perjuangannya. Tangisannya perih,” imbuh Popi.
Dia juga mengutarakan keluhannya di media sosial TikTok.
Menurut Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Pontianak, Imelda Ika Aprilia, proses mediasi masih berjalan.
Imelda mengatakan belum ada keputusan hukum yang menyatakan tindakan tersebut adalah malpraktik atau bukan.
“Kami mendampingi proses mediasi, ini masih tetap berproses,” kata Imelda kepada detikcom, Rabu (18/1).
“Yang terjadi adalah risiko, komplikasi dari suatu tindakan,” kata Imelda. (SP)