Konon, pengguna jalan yang tidak menjaga perilaku bahkan akan diganggu oleh ‘penunggu’ perempatan tersebut
SPcom JAKARTA – Kepercayaan terhadap mitos mungkin memang tak masuk akal bagi sebagian besar kalangan masyarakat, apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Namun, keyakinan warga lokal yang masih dipelihara–mungkin puluhan, atau ratusan tahun–menjadikan suatu daerah punya keunikan tersendiri. Salah satu mitos yang masih dipercaya sejak dulu adalah mitos perempatan Palbapang, Bantul, Yogyakarta.
Perempatan yang menghubungkan Jalan KH Wahid Hasyim di Utara, Jalan Samas di selatan, Jalan Srandakan di barat, dan Jalan Sultan Agung di timur, ini berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta. Terdapat Rumah Sakit Khusus Paru Respira di dekat Perempatan Palbapang.
Meski strategis, perempatan Palbapang ini menyimpan momok tersendiri di baliknya. Masyarakat percaya, perempatan ini memiliki kekuatan mistis yang dapat memperburuk kondisi seseorang yang melewati jalan ini. Pengguna jalan yang tidak menjaga perilaku bahkan akan diganggu oleh ‘penunggu’ perempatan tersebut.
Sesepuh Palbapang juga percaya, perempatan keramat itu seakan punya petugas sekuriti, atau penjaga, yang terkadang jahil menganggu orang lewat, terlebih yang tidak menjaga perilaku. Konon, pembangunan rumah sakit paru di dekat lokasi tersebut sempat tersendat karena kesulitan menanam paku bumi.
Seolah-olah terdapat karet di tanah, sehingga membuat paku bumi sulit ditanam. Masyarakat juga percaya, orang yang memang kondisinya sedang kurang baik atau sakit sebaiknya tidak melewati perempatan tersebut. Jika tetap dilakukan, maka akan menimbulkan malapetaka berupa sakit yang tak kunjung sembuh dan bisa berujung kematian.
Selain berkaitan dengan mitos orang sakit, Perempatan Palbapang juga memiliki mitos lain yang cukup populer, yakni pengantin harus melepas ayam saat melewati perempatan ini. Terdapat mitos yang melarang pengantin melewati jalan ini, tetapi jika hal itu tak bisa dihindari, maka pengantin tersebut harus melepaskan ayam sebagai penolak bala.
Jika hal itu tak dilakukan, konon pernikahan mereka akan ditimpa musibah. Selain ayam, tak jarang mereka juga akan meletakkan sesaji di tugu perempatan. Tradisi melepas atau ‘membuang’ ayam ini tak hanya untuk menghindari musibah, tetapi juga sebagai bentuk sedekah. Ayam yang dilepas dipercaya tidak mudah terserang penyakit dan biasanya ditangkap warga sekitar sebagai bentuk berkah. (SP)