Gus Hilmy Apresiasi Lesbumi NU DIY Selenggarakan Diskusi Seniman Untuk Bangsa

SPcom YOGYAKARTA – Anggota DPD RI, Hilmy Muhammad mengajak seniman untuk ikut berperan aktif menyikapi persoalan-persoalan bangsa.

Hal ini diungkapkan Hilmy saat menghadiri diskusi publik menyambut HUT ke-79 Republik Indonesia oleh Pengurus Wilayah Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia Nahdlatul Ulama (PW Lesbumi NU) D.I. Yogyakarta, di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta, Sabtu (3/8/2024).

Pria yang akrab disapa Gus Hilmy itu mengajak peserta diskusi untuk mencermati peristiwa Proklamasi RI. Di mana saat Presiden Soekarno membaca naskah proklamasi, terdapat lukisan di belakangnya.

“Itu lukisan “Memanah” karya Henk Ngantung barangkali menjadi inspirasi kita dalam perjuangan kemerdekaan. Barangkali karena mewakili semangat perjuangan dan perlawanan “bambu runcing” yang ingin digelorakan melalui kanvas pelukisnya. Di samping karena kemampuan kita waktu itu belum mampu membeli senjata api,” kata anggota Komite I DPD RI tersebut dalam sambutannya.

Menurut Gus Hilmy, perkembangan seni di Indonesia memiliki hubungan dengan dinamika politik. Namun kemudian politik membuat kelompok-kelompok seniman saling berseberangan.

“Yang menarik, meskipun para seniman berpolemik, tetap dapat memberikan inspirasi dan penyadaran melalui karya-karya. Di sinilah sebenarnya kita juga berharap dari para seniman. Kemerdekaan kita dari penjajah barangkali sudah cukup lama, 79 tahun lamanya. Akan tetapi pasti kita semua tahu, masih banyak penjajahan di sekitar kita. Kita belum sepenuhnya merdeka dari persoalan-persoalan kebangsaan kita, yang itu perlu para seniman campur tangan melalui karya-karyanya demi menyadarkan masyarakat luas,” tutur pria yang juga Katib Syuriah PBNU tersebut.

Anggota MUI Pusat tersebut memberikan contoh bagaimana negara sudah tidak memiliki garis besar haluan negara (GBHN) sehingga arah negara tergantung pada yang berkuasa. Baik legislatif maupun eksekutif, semuanya adalah representasi partai politik, yang pengkaderannya seringkali tidak jelas. Di sinilah seniman diharapkan menjadi penyeimbang melalui gerakannya.

Hadir dalam kesempatan tersebut adalah Dekan Fakultas Dirasah Islamiyah Achmad Munjid, Ketua PW Lesbumi NU DIY Awaluddin G Muallif, dan para narasumber seniman Nasirun, arsiparis Muhidin M. Dahlan, dan sejarawan seni Aminuddin TH Siregar.

Aminuddin menyatakan bahwa ketika masa penjajahan, seni digunakan untuk mempropaganda rakyat terjajah untuk bekerja keras agar tidak menyadari bahwa dirinya sedang dijajah.

“Penciptaan estetik pada masa Jepang kerap kali dimanipulasi dengan propaganda. Seni yang memvisualisasikan kerja keras menjadi satu unsur propaganda yang disenangi Jepang. Mendorong agak rakyat Indonesia bekerja keras sehingga mengalihkan penjajahan,” ucap pria yang akrab disapa Ucok tersebut.

Sebeliknya, ketika masa awal kemerdekaan, jelas Ucok, seni digunakan sebagai propaganda kemerdekaan sekaligus sebagai media diplomasi yang menggambarkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan kebudayaan.

“Rasa nasionalisme seniman sangat kuat dengan berbagai karya yang mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, Soekarno juga menggunakan seni sebagai diplomasi untuk menunjukkan bahwa Indonesia ini berbudaya. Peran yang sama juga dilakukan oleh Sjahrir,” ujar ketua PCI Lesbumi NU Belanda tersebut.

Pernyataan tersebut juga dikonfirmasi oleh Nasirun. Bahwa masa awal kemerdekaan, ketika negara meminta kontribusi seniman, tak ada jawaban selain kesanggupan. Meskipun sebenarnya sangat sulit diwujudkan ketika itu.

“Bung Karno pernah memesan tugu selamat datang, pada waktu kita belum punya teknik perunggu, tapi disanggupi oleh seniman. Bahkan listrik aja belum maksimal. Duitnya juga tidak jelas. Tapi seniman mau mengerjakan karena alasan nasionalisme. Kalau menolak, nasionalismenya diragukan. Hari ini kita bisa mempertanyakan nasionalisme seniman atau kita semua? Kalau nasionalismenya menipis, maka bisa dipertanyakan kontribusinya pada negara,” ujar seniman kondang tersebut.

Sementara itu, Muhidin M. Dahlan atau akrab disapa Gus Muh membahas awal kemunculan Lesbumi NU dan kontribusi pertamanya. Di antaranya adalah lahir film Dosa dan Doa garapan Usmar Ismail. Selain film itu menjadi dasar ditetapkannya Hari Film Nasional pada setiap 30 Maret, usmar Ismail juga diganjar dengan gelar Pahlawan Nasional.

DPD RIHUT RINahdlatul Ulamayogyakarta
Comments (0)
Add Comment