SPcom JAKARTA – Test of English as a Foreign Language (TOEFL) telah lama dijadikan sebagai salah satu syarat penting dalam proses rekrutmen untuk pekerjaan, terutama di sektor pemerintahan dan perusahaan swasta di Indonesia. Namun, sebuah gugatan yang diajukan oleh Hanter Oriko Siregar ke Mahkamah Konstitusi (MK) memicu perdebatan tentang keabsahan dan keberlanjutan syarat tersebut. Hanter, yang merasa dirugikan oleh syarat TOEFL untuk tes CPNS, mengajukan permohonan agar syarat ini dihapuskan.
Pada 12 November 2024, gugatan tersebut resmi teregistrasi dengan nomor perkara 159/PUU-XXII/2024. Hanter mengklaim bahwa syarat TOEFL, terutama dengan skor minimal yang ditetapkan, telah menghambat prosesnya dalam mengikuti tes CPNS di sejumlah instansi.
Ia menambahkan bahwa beberapa instansi mematok skor TOEFL 450 sebagai syarat mutlak untuk dapat melamar, yang menurutnya sangat tidak realistis bagi banyak orang, terutama bagi mereka yang tidak memiliki latar belakang pendidikan bahasa Inggris.
Hanter sendiri mengaku sudah berusaha mengikuti tes TOEFL sebanyak empat kali, namun hasil terbaik yang bisa diraihnya hanya skor 370. Hal ini membuatnya merasa dipersulit dalam mendapatkan pekerjaan di pemerintahan, yang seharusnya lebih memperhatikan aspek kompetensi lainnya, bukan hanya kemampuan bahasa Inggris.
Menurut Hanter, keberadaan syarat TOEFL untuk tes CPNS dan lamaran kerja di perusahaan swasta tidak hanya merugikan individu seperti dirinya, tetapi juga bertentangan dengan hak konstitusional warga negara Indonesia.
Dalam gugatan tersebut, ia mengutip beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menjamin hak setiap warga negara untuk bekerja dan mendapatkan pekerjaan tanpa adanya diskriminasi atau persyaratan yang tidak wajar.
Selain itu, Hanter juga menyebut bahwa penerapan TOEFL dalam syarat kelulusan di berbagai perguruan tinggi, khususnya di jurusan yang tidak berkaitan langsung dengan bahasa Inggris, telah menambah beban bagi mahasiswa.
Menurutnya, ini lebih mencerminkan kepentingan bisnis daripada kebutuhan nyata akan kemampuan bahasa Inggris dalam dunia kerja.
Lebih lanjut, Hanter berpendapat bahwa syarat TOEFL ini lebih mengarah pada praktik bisnis yang menguntungkan penyelenggara tes dan lembaga yang menjual sertifikat TOEFL, daripada menjadi indikator kompetensi yang objektif.
Ia juga mengingatkan bahwa banyak pencari kerja yang terpaksa menggunakan jalan pintas dengan membuat sertifikat TOEFL palsu untuk memenuhi persyaratan tersebut, yang justru merugikan integritas dan kepercayaan dalam sistem rekrutmen.
Hanter tidak menentang penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, namun ia menilai bahwa menjadikannya sebagai syarat utama dalam mencari pekerjaan di Indonesia adalah langkah yang tidak proporsional. Terlebih lagi, bahasa Indonesia telah diatur sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 UUD 1945.
Sebagai pembanding, Hanter mengungkapkan bahwa banyak negara besar lainnya, seperti Rusia, Turki, Jepang, dan China, tidak mewajibkan TOEFL sebagai syarat untuk kuliah atau memperoleh beasiswa. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa setiap negara memiliki kebijakan yang lebih fleksibel dalam menentukan kualifikasi untuk penduduknya, tanpa bergantung pada standar bahasa Inggris yang diterapkan oleh negara-negara Barat.
Dalam petitumnya, Hanter meminta agar Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan ini dengan menyatakan bahwa beberapa pasal dalam UU Ketenagakerjaan dan UU ASN bertentangan dengan UUD 1945. Ia berharap agar syarat TOEFL tidak lagi dijadikan ketentuan yang mutlak dalam tes CPNS maupun lamaran pekerjaan di perusahaan swasta. Pemohon juga meminta agar penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara diperkuat dalam kebijakan rekrutmen di Indonesia.
Gugatan ini tentunya akan memicu diskusi lebih lanjut tentang kebijakan rekruitmen di Indonesia, khususnya mengenai kewajiban tes TOEFL. Jika MK mengabulkan gugatan ini, syarat TOEFL mungkin tidak lagi menjadi hal yang wajib dipenuhi dalam proses pencarian kerja, memberi ruang bagi lebih banyak pencari kerja untuk bersaing secara adil.
Namun, di sisi lain, beberapa pihak mungkin berpendapat bahwa kemampuan berbahasa Inggris tetap penting dalam menghadapi globalisasi dan persaingan internasional.
Sebagai negara yang tengah berkembang dan semakin terhubung dengan dunia luar, Indonesia perlu mempertimbangkan dengan bijak kebijakan yang dapat memfasilitasi kemajuan tanpa membebani warganya dengan syarat-syarat yang tidak relevan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi akan sangat menentukan arah kebijakan ketenagakerjaan di masa depan, yang harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan pasar dan hak konstitusional setiap warga negara. (SP)