Meski banyak diziarahi, tidak ada warga yang mengetahui siapa sesungguhnya Mbah Jobeh
SPcom JAKARTA – Terletak di Kalurahan Petir, Gunungkidul, Jawa Tengah ada sebuah petilasan yang ramai dikunjungi peziarah saat acara sadranan. Ya, warga dari berbagai daerah ramai-ramai berziarah ke petilasan Mbah Jobeh, sebuah petilasan berbentuk seperti makam, berupa gundukan dengan rumah-rumahan kecil beratap ijuk. Gubuk itu dikelilingi tembok putih. Terdapat pula gerbang dari besi yang terkunci dengan sebuah gembok sehingga tidak dapat melihat lebih dekat gubuk tersebut. Meski banyak diziarahi, tidak ada warga yang mengetahui siapa sesungguhnya Mbah Jobeh. Warga meyakini Mbah Jobeh merupakan sosok sakti yang membawa kemakmuran di desa.
Salah satu tokoh masyarakat setempat, Noto Sukamto mengatakan leluhurnya yang bernama Ki Kenthung merupakan orang pertama yang datang ke desa tersebut.Menurut Noto, Ki Kenthung hidup di era Majapahit. Dia sendiri merupakan keturunan ke-13 dari Ki Kethung.
“Kalau Ki Kenthung, zaman Majapahit itu sudah ada,” papar Noto seperti dilansir detikJogja, beberapa waktu lalu. Saat tiba di daerah tersebut, Ki Kenthung menemukan daerah tersebut gersang dan kering kerontang. Dia pun berkeliling untuk mencari tanaman yang bisa dimakan, namun tidak menemukannya.
Dia justru menemukan gundukan yang ditutupi rumah-rumahan kecil beratap ijuk hitam. Dia pun heran dengan benda yang mirip makam itu dan akhirnya berkeliling di sekitarnya hingga kelelahan. Dia lantas beristirahat dan mengeluhkan nasibnya yang tidak menemukan sesuatu yang bisa dimakan di tempat itu. Dalam kondisi setengah tertidur, Ki Kenthung mendengar suara gaib yang diyakininya berasal dari gundukan tersebut. “Pada saat di ladang yang semua tanaman itu kering kemudian tiba-tiba itu terdengar suara yang mana tidak ada orang di sekeliling Ki Kenthung itu, suara yang seakan-akan menjawab rintihan Ki Kenthung,” kata Noto.
Saat membuka matanya, Ki Kenthung terkejut karena daerah yang semula kering kerontang itu menjadi hijau dan subur. Ki Kenthung akhirnya memutuskan tinggal di tempat itu dan merawat petilasan yang akhirnya disebutnya sebagai petilasan Mbah Jobeh itu, yang merupakan singkatan dari ijo kabeh alias hijau semua. “Di wilayah petilasan untuk semedi di situ ada petilasannya Mbah Jobeh sehingga tanaman di situ itu termasuk tanaman ijo kabeh (hijau semua),” kata Noto.Ki Kenthung sendiri tinggal di desa itu dan menjadi juru kunci pertama dari petilasan Mbah Jobeh. Adapun Noto menjadi juru kunci ke-13 yang mulai bertugas sejak 1975 silam.
Dalam tradisi Jawa, biasanya nyadran dilakukan sebelum memasuki bulan puasa, tepatnya saat Bulan Ruwah. Namun, nyadran di makam Mbah Jobeh memiliki jadwal yang berbeda. Menurut Noto, agenda nyadran di petilasan Mbah Jobeh biasa dilakukan pada Juli, Agustus dan September. Asalkan, di bulan-bulan itu tidak ada tradisi lain seperti puasa dan lebaran.
“Itu kalau nggak dobel dengan bulan Jawa, sekitar bulan Juli, Agustus, September. Tapi kalau bulan itu dobel dengan bulan jawa seumpama bulan puasa itu tidak boleh,” kata Noto. Adapun acara nyadran itu menurutnya banyak didatangi oleh orang dari berbagai daerah. Rata-rata dari mereka mendatangi tempat itu dengan harapan hajatnya bisa tercapai.(SP)