Revisi UU TNI: Antara Penguatan Profesionalisme dan Kekhawatiran Dwifungsi

Revisi UU TNI: Antara Penguatan Profesionalisme dan Kekhawatiran Dwifungsi

KAJIAN REVISI UU TNI
Oleh: Jenderal TNI (Purn.) Prof. Dr. Dudung Abdurachman, S.E., M.M

SPcom JAKARTA – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Pemerintah dan DPR menyatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan profesionalisme TNI. Namun, sejumlah pengamat dan kelompok masyarakat sipil menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi ABRI yang telah dihapus sejak era Reformasi 1998.

Poin-Poin Krusial dalam Revisi UU TNI

Beberapa perubahan signifikan dalam revisi UU TNI meliputi kenaikan batas usia pensiun prajurit dari 55 tahun menjadi 62 tahun, perluasan jumlah kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif dari 10 menjadi 15, serta penguatan koordinasi TNI dengan Kementerian Pertahanan. Pemerintah mengklaim perubahan ini bertujuan memperjelas posisi TNI dalam sistem pertahanan nasional sekaligus memperluas pengalaman prajurit di sektor strategis.

Kritik terhadap Revisi UU TNI

Sejumlah kritik mencuat terkait revisi ini. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi kembalinya dwifungsi ABRI, mengingat perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif berisiko mengurangi supremasi sipil dalam pemerintahan. Selain itu, kenaikan usia pensiun prajurit dinilai dapat menghambat regenerasi dalam tubuh TNI, yang berpotensi menurunkan efektivitas dan kesiapan tempur.

Kritik lainnya berfokus pada kemungkinan penurunan transparansi dalam akuntabilitas hukum bagi prajurit yang menjabat di sektor sipil. Beberapa pihak menilai sistem peradilan militer masih kurang transparan, sehingga dikhawatirkan akan memberikan impunitas bagi prajurit yang tersandung kasus hukum saat menjabat di lembaga sipil.

Respons Pemerintah dan DPR

Menanggapi berbagai kritik, pemerintah dan DPR menegaskan bahwa revisi ini tidak bertujuan menghidupkan kembali dwifungsi ABRI. Sejumlah pasal yang direvisi tetap mempertahankan prinsip bahwa TNI tidak berpolitik dan tunduk pada kebijakan negara. Pemerintah juga menekankan bahwa penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dilakukan berdasarkan kebutuhan strategis, bukan sebagai upaya militerisasi birokrasi.

Pemerintah juga menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam jabatan sipil bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara demokratis seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris juga memiliki mekanisme serupa untuk mengelola keamanan nasional dan kebencanaan.

Kesimpulan

Perdebatan mengenai revisi UU TNI ini menunjukkan adanya kesenjangan persepsi antara pemerintah, akademisi, serta masyarakat sipil. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk menyosialisasikan tujuan revisi ini secara luas dan transparan. Beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menjaga Citra Indonesia di Mata Internasional. Narasi bahwa revisi UU TNI akan mengarah pada militerisasi pemerintahan harus ditangkal dengan komunikasi yang baik kepada dunia internasional melalui forum-forum global.
  2. Sosialisasi yang Masif dan Berbasis Fakta. Meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat guna menangkal misinformasi dan propaganda yang berkembang.
  3. Transparansi dalam Implementasi. Memastikan bahwa revisi UU TNI tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik tertentu dengan membentuk mekanisme seleksi yang transparan bagi prajurit yang ingin menduduki jabatan sipil.
  4. Menghindari Politisasi Revisi UU TNI. Revisi UU TNI harus fokus pada penguatan regulasi pertahanan, bukan alat politik. Pembahasannya perlu tetap teknokratis, melibatkan berbagai pihak secara seimbang, dan tidak dijadikan bahan kampanye yang memecah belah.
Jendral Dudung AbdurachmanTNIUndang undang
Comments (0)
Add Comment