SPcom JAKARTA — Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menyerukan pentingnya peran strategis perempuan dalam membangun masa depan Indonesia. Hal ini disampaikan saat membuka seminar bertajuk “Kepemimpinan Perempuan untuk Indonesia Maju dan Sejahtera”, yang digelar oleh Korps HMI-Wati (KOHATI) melalui Forum Alumni HMI-Wati (Forhati), di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen Senayan, Jumat (23/5/2025).
Muzani menekankan bahwa perempuan merupakan penjaga nilai kebangsaan sekaligus penggerak utama dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Menurutnya, kontribusi nyata para perempuan Forhatinyang rela meninggalkan keluarga demi bangsa patut dihargai tinggi.
“Sejak awal kemerdekaan, perempuan sudah mengambil peran besar. Dari anggota DPR hingga hakim perempuan pertama seperti Siti Soendari di era Presiden Soekarno. Indonesia cukup progresif dalam membuka ruang partisipasi perempuan,” tegasnya.
Namun, ia juga menyoroti tantangan ke depan, seperti rendahnya kualitas SDM dan minimnya tingkat pendidikan. “Rata-rata pendidikan masih setingkat SMP. Hanya 10 persen yang melanjutkan ke jenjang sarjana. Ini hambatan besar menuju negara maju,” kata Muzani.
Ia mengajak semua pihak, khususnya HMI dan KOHATI, untuk menjaga nilai-nilai perjuangan dan menjauhi pragmatisme. “Kita harus menghindari mentalitas instan. Nilai dan integritas adalah kekuatan sejati,” ujar Muzani.
Perempuan dan Kapasitas Kepemimpinan
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Himmatul Aliyah, dalam sesi pemaparannya mengingatkan bahwa perempuan tidak boleh dilemahkan oleh stigma. Ia menegaskan bahwa kemampuan, bukan penampilan, adalah ukuran sejati kepemimpinan.
“Jawab semua keraguan dengan prestasi. Kita harus punya daya saing—bukan hanya untuk lolos kuota 30 persen keterwakilan di parlemen, tapi untuk menunjukkan kualitas sesungguhnya,” katanya.
Himmatul juga menekankan pentingnya afirmasi hukum untuk perempuan melalui konstitusi dan regulasi, seperti pasal 28H UUD 1945 serta sejumlah undang-undang dan PKPU yang mendukung keterwakilan perempuan.
Perempuan sebagai Penjaga Perdamaian
Dubes RI untuk Kuwait, Lena Maryana Mukti, menambahkan bahwa perempuan memiliki peran vital dalam menjaga perdamaian. Ia merujuk pada agenda global Women, Peace, and Security (WPS), yang menempatkan perempuan sebagai aktor utama dalam pencegahan konflik dan rekonsiliasi.
“Perempuan tahu betul kebutuhan perempuan dan anak-anak saat konflik. Maka kehadiran mereka dalam proses perdamaian bukan sekadar simbol, tapi kebutuhan strategis,” tegasnya.
Pendidikan dan Ketimpangan Gender
Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menyoroti ketimpangan gender yang masih nyata, terutama di dunia pendidikan dan ketenagakerjaan. Salah satu isu krusial adalah tingginya angka perkawinan anak yang mengakibatkan putus sekolah, terutama di kalangan perempuan.
“Dari data, 12,7 persen anak perempuan putus sekolah karena menikah, dibandingkan hanya 0,37 persen anak laki-laki. Ini ketimpangan serius,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perjuangan perempuan kepala keluarga yang masih terbatas aksesnya terhadap layanan dasar dan pendidikan anak.
KOHATI Harus Turun ke Akar Rumput
Peneliti Utama Politik BRIN, R. Siti Zuhro, menegaskan pentingnya kontribusi nyata perempuan di masyarakat. Menurutnya, sudah saatnya KOHATI tidak hanya aktif di ruang akademik, tapi juga terlibat langsung dalam pembangunan desa.
“Bangun Indonesia dari pinggiran. Turun ke masyarakat. Jangan hanya berkutat di Jakarta. Perempuan bisa jadi ujung tombak pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.
Menuju Indonesia Emas 2045
Seminar ini menjadi momentum penting yang menggugah kesadaran kolektif: perempuan bukan hanya pelengkap, melainkan garda terdepan dalam pembangunan nasional. Dari politik hingga pendidikan, dari perdamaian hingga pemberdayaan desa—perempuan Indonesia siap melangkah lebih jauh demi Indonesia Emas 2045.
Optimisme, kapasitas, dan aksi nyata menjadi kunci utama. Kini saatnya perempuan Indonesia mengambil peran strategis demi masa depan bangsa.