Hal ini diduga sebagai respons terhadap berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan haji 2025, termasuk aspek teknis hingga manajemen jemaah
SPcom JAKARTA – Pemerintah Arab Saudi kembali mengirimkan isyarat tegas kepada Indonesia menjelang pelaksanaan haji 2026. Selain kemungkinan memangkas kuota jemaah hingga 50 persen, Saudi juga menyoroti serius aspek kesehatan jemaah asal Indonesia. Isu ini mencuat dalam pertemuan resmi antara Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) Mochamad Irfan Yusuf dengan Deputi Menteri Haji Arab Saudi di Jeddah, Selasa (10/6).
Dalam pertemuan itu, dibahas sejumlah persoalan krusial terkait penyelenggaraan haji ke depan. “Kuota haji Indonesia untuk tahun depan belum ditentukan. Biasanya, angka kuota langsung diberikan setelah musim haji selesai,” ujar pria yang akrab disapa Gus Irfan, dilansir dari detikHimah. Namun, ia menyebut tahun ini prosesnya lebih rumit. Menurut Irfan, Saudi tengah mempertimbangkan wacana pemangkasan kuota jemaah Indonesia hingga 50 persen.
Hal ini diduga sebagai respons terhadap berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan haji 2025, termasuk aspek teknis hingga manajemen jemaah. “Kami sedang melakukan negosiasi. Karena ke depan, manajemen haji akan resmi dialihkan dari Kementerian Agama ke BP Haji, dan kami menawarkan sistem baru untuk perbaikan,” ujarnya. Saudi tidak hanya mempermasalahkan kuota.
Perhatian lebih besar justru tertuju pada kondisi kesehatan jemaah Indonesia yang dinilai belum memenuhi syarat istitha’ah (kemampuan fisik). Dalam forum tersebut, perwakilan Saudi menyampaikan keprihatinan mendalam terkait lemahnya sistem seleksi jemaah dari sisi kesehatan. Bahkan, pernyataan keras dilontarkan ketika membahas adanya jemaah Indonesia yang meninggal dunia sebelum tiba di Tanah Suci. “Ada yang meninggal bahkan saat masih di pesawat. Why do you bring people to death here?” Saudi menilai proses seleksi jemaah belum optimal dalam menyaring mereka yang benar-benar sehat untuk menunaikan ibadah haji yang sangat berat secara fisik. Karena itu, Saudi mendesak adanya transparansi dan validasi data kesehatan yang lebih ketat. (SP)