suryapagi.com
HEADLINEOpinionsPENDIDIKANRAGAM

Isu-Isu Krusial Dalam Masalah Terorisme dan Radikalisme Di Era Teknologi Digital

Penulis: Jay Aryaputra Singgih

Kita telah mengetahui bersama bahwa radikalisme, terorisme dan konflik kekerasan serta intoleransi merupakan permasalahan bangsa yang memerlukan penanganan yang dilakukan secara bersama-sama antara pemerintah, TNI, Polri, Kementerian dan didukung masyarakat. Selama ini penanganan terorisme dilakukan secara sektoral oleh masing-masing lembaga, seperti pada masa Orde baru penanganan terorisme masih menggunakan UU Subversi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi lembaga yang melakukan tindakan pemberantasan terorisme adalah TNI dan lembaga intelijen Negara.

Sedangkan pada era Reformasi, Polri sebagai lembaga Negara yang melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme. Saat ini sedang dipersiapkan Keputusan Presiden tentang aturan keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme. Menurut The Code of Federal Regulation Departement of justice pada Federal Bureuof Investigasion(FBI) Amerika Serikat adalah penggunaan kekuatan atau kekerasan secara tidak sah terhadap perseorangan atau harta kekayaan untuk mengintimidasi atau memaksa sebuah pemerintahan, masyarakat sipil, atau elemen-elemen lain untuk mencapai tujuan politik maupun sosial (FBI, 2015).

Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 2018 tentang pemberatasan tindak pidana terorisme pasal 1 adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menggunakan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan.(BNPT, 2019).

Dalam perkembangan, arus globalisasi yang merambah ke seluruh dunia membawa masalah baru yaitu ketimpangan antara ekonomi yang terpusat pada negara maju dengan negara berkembang dan negara miskin. Isu ketimpangan tata dunia modern itu menjadi pemicu munculnya krisis kemanusiaan, krisis energi dan krisis sosial. Masalah-masalah kesenjangan dan ketimpangan global tersebut merupakan masalah yang perlu dipikirkan secara bersama oleh negara-negara melalui fórum-forum internasional,PBB, G20 dan media-media global lainnya. Globalisasi dan era digital telah memudahkan hubungan antar bangsa dan antar manusia mengalami saling ketergantungan dan interconnectivity, maka pada konteks dinamika globalisasi ini membawa manfaat bagi masyarakat global. Kondisi tersebut berdampak pada ancaman ruang cyber karena akses dan penggunaan teknologi digital. Banyak ancaman dan kejahatan yang bersifat transnasional. Perdagangan manusia dan kejahatan siber seiringkali melibatkan lebih dari satu negara.

Kejahatan terorisme seperti ISIS dapat dengan mudah menyebar ke seluruh negara dunia akibat taktik mereka membangun sel-sel dan organisasi radikalisme di suatu negara dengan menggunakan teknologi digital dalam penyebaran faham dan ideologinya. Banyak sekali narasi anti globalisasi yang dijadikan sebagai media penyebaran radikalisme dan terorisme.

Isu baru yakni cyber terorism,yang mendukung penyebaran dan radikalisasi melalui dunia maya. Pada banyak kasus terorisme dilakukan melalui pembelajaran online, online radicalism seperti yang terjadi pada aksi-aksi lone wolf oleh pelaku kejahatan terorisme di sejumlah tempat di Indonesia. Telah banyak website dan situs-situs resmi pemerintah diretas oleh pelaku terorisme. Bahkan aksi pemcurian dalam rangka aksi terorisme dilakukan dengan cara cyber crime dengan sasaran perbankan dan kantor-kantor pemerintah, bahkan lembaga keamanan nasional.

Isu yang krusial berikutnya adalah terorisme, penggunaan zat-zat nuklir, biologi, kimia, dan radioaktif (NUBIKARA) atau KBRN. Penggunaan gas dan radioaktif pernah digunakan oleh terorisme diberbagai Negara, seperti di Jepang. Beberapa kegiatan PGD BNPT membahas isu KBRN ini untuk memperbaiki aturan dan petunjuk operasional pemerintah menghadapi ancaman KBRN yang diperkirakan akan menjadi ancaman besar di era teknologi tinggi. Karena terorisme menggunakan KBRN diperkirakan akan semakin besar ancamannya kalau dunia menggunakan teknologi tinggi. Oleh karenanya harus ada langkah-langkah pra kondisi untuk mencegah dari terorisme KBRN ini ke depan.

Apalagi tren ancaman keamanan mengalami pergeseran keamanan konvensional menjadi ancaman non konvensional. Penguasaan ITC (Information Techonogy and computer) merupakan wahana pembangunan negara yang berbasis teknologi. Tetapi setiap negara harus mengantisipasi teknologi digunakan sebagai sarana kejahatan dan terorisme. Misalnya Amerika Serikat melarang penggunaan produk produk Huawei dalam rangka melindungi keamanan nasional dan keamanan dan pakta aliansi keamanan globalnya. Pendekatan dan strategi keamanan siber AS ingin memproteksi pengaruh produk Huawei dan sekaligus ingin membangun keamanan siber yang lebih tangguh dan aman demi melindungi kepentingan nasional dan global Amerika Serikat.

Logika permasalahan keamanan teknologi ini dapat menjadi latar untuk memahami terorisme yang berbasis penggunaan teknologi yaitu, KBRN. Menurut ahli lainnya, Taddeo, peperangan yang didasarkan pada penggunaan TIK tertentu dalam strategi militer ofensif atau defensif yang didukung oleh suatu negara dan bertujuan untuk gangguan langsung atau kontrol sumber daya musuh, dan yang dilakukan dalam lingkungan informasional, dengan agen dan target mulai dari domain fisik dan non-fisik dan yang tingkat kekerasannya dapat bervariasi tergantung keadaan. (org/wiki/Cyberwarfare, 2020).

Untuk mendorong peran pemerintah yang efektif dan strategis terhadap keberlangsungan Negara dan keamanan nasional, maka TNI, Polri, BIN dan Badan terkait dapat menggalang dan mendorong partisipasi bela Negara kepada unsur-unsur masyarakat yang memiliki kapasitas untuk itu, misalnya elemen masyarakat yang menguasai teknologi informasi, kewaspadaan dan rasa nasionalisme untuk melindungi negaranya. Pemerintah juga dapat mengumpulkan informasi melalui jaringan diaspora Indonesia di mancanegara. Pada akhirnya perlu adanya strategi dan pemahaman yang berbasis teknologi untuk menanggulangi tugas dan peran dalam menghadapi radikalisme dan terorisme di era digital.

“Tulisan bukan merupakan hasil kerja ataupun opini dari Tim Suryapagi.com”

Related posts

Panglima Andika Izinkan Keturunan PKI Daftar Sebagai Prajurit TNI

Ester Minar

Seorang Kurir Narkoba Membunuh Temannya Hingga Tewas Bersimbah Darah

Ester Minar

Kemnaker: Negara-negara ASEAN Harus Berkolaborasi Dalam Penggunaan TKA

Ester Minar

Leave a Comment