SPcom JAKARTA – Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono mengatakan permintaan ekspor pasir laut Indonesia mencapai 1 miliar kubik. Dia mengungkapkan, jika permintaan itu dipenuhi, akan ada Rp 66 triliun penerimaan negara yang diperoleh.
“Kebutuhan akan pasir laut untuk kepentingan reklamasi, karena reklamasi membutuhkan pasir laut itu banyak di dunia,” kata Sakti Wahyu.
Wahyu Trenggono tidak memerinci negara mana saja yang mengajukan permintaan. Ia beralasan, ekspor pasir laut dilakukan sebagai upaya optimalisasi penerimaan negara bukan hanya dari pajak, melainkan dari sektor lain, yakni alam.
“Di Uni Arab Emirat juga butuh, kemudian Jepang juga butuh, Singapura yang dekat dengan kita juga butuh. Yang berikutnya adalah kalau seandainya, sampai hari ini belum, permintaannya banyak,” imbuhnya.
Menurutnya, penerimaan negara Rp66 triliun dari 1 miliar kubik pasir laut adalah nilai yang besar. Penerimaan itu juga bisa dimanfaatkan untuk pengembangan sektor perikanan dan kelautan.
“Jadi, kalau saya lihat dari sisi permintaan dari jumlah yang mengajukan itu lebih dari 1 miliar kubik, kalau seandainya 1 miliar kubik saja, negara itu akan dapat RP66 triliun,” klaim Wahyu.
Wahyu mengatakan ekspor pasir laut diperlukan karena sedimentasi yang merupakan bagian dari oseanografi. Ia berdalih, apabila didiamkan terus menerus akan membentuk pulau baru.
Sakti Wahyu tak menjelaskan dengan baik saat ditanya soal dampak lingkungan dan protes atas rencana ekspor pasir laut.
Aturan mengenai ekspor pasir laut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Analisis Lembaga Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin), peraturan tersebut merupakan bentuk eksploitasi pasir berkedok pelestarian dan perlindungan lingkungan laut.
Sebab, menurut Koordinator Nasional Ekomarin, Marthin, tujuan asli PP itu justru sangat kontradiktif. Selain itu kata Marthin, posisi Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang bertindak sebagai regulator, pemberi izin, sekaligus pengawas bisa menjadi celah korupsi.
“Persoalan ekspor, ya, bisa aja tuh KKP atau kemudian ESDM dan Kemendag yang kemudian mengatur keluar masuk perdagangan barang, ya, tahu-tahu ekspor pasir. Jadi, ini barang baru yang bisa menjadi celah yang kita sih kalau alasannya KKP kemudian akan berpijak pada kajian-kajian ilmiah tersebut. Dan saya sih melihat ini celah baru untuk KKP melakukan korupsi atau pejabatnya entah siapapun, ya, gitu,” kata dia.
Tak hanya potensi korupsi dan kerusakan lingkungan, pembukaan izin ekspor pasir laut juga tak berpihak kepada rakyat, terutama nelayan. Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati, eksploitasi pasir laut bakal makin mengancam kelangsungan hidup nelayan, perempuan nelayan, dan masyarakat pesisir.
“Kita lihat semua kebijakan yang hari ini lahir rata-rata itu diperuntukkan untuk ya tadi dia pebisnis, untuk penanaman modal asing, untuk investasi tapi sangat jauh sekali dari kepentingan atau kebutuhan ataupun upaya negara menyejahterakan kawan-kawan di pesisir dan pulau-pulau kecil gitu,” kata Susan.
Susan menduga kuat langkah Presiden Jokowi membuka keran ekspor pasir laut di akhir pemerintahannya hanya untuk kepentingan elite. (SP)