SPcom SOLO – Sejumlah aktivis Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di kawasan Joglosemar—meliputi DI Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Tengah—menyampaikan keprihatinan atas konflik internal yang belum tuntas selama lebih dari satu tahun.
Mereka menilai, diperlukan langkah penyelamatan organisasi dengan mengedepankan sikap kenegarawanan, semangat kekeluargaan, serta kecintaan terhadap organisasi dan profesi kewartawanan.
Dalam pertemuan informal yang digelar belum lama ini di Surakarta, tokoh pers Yogyakarta Sihono HT, Amir Machmud NS dari Semarang, aktivis PWI Jateng Setiawan Hendra Kelana, dan aktivis PWI Surakarta Anas Syahirul menyimpulkan bahwa konflik berkepanjangan ini telah menimbulkan kerugian besar, baik materiil maupun nonmateriil.
Kerugian tersebut tidak hanya dirasakan di tingkat pusat, tetapi juga berdampak luas pada pengurus daerah serta anggota dan calon anggota PWI.
Sejumlah fakta mengemuka selama konflik berlangsung:
- Penurunan Kepercayaan Mitra
Kemelut berkepanjangan membuat banyak mitra enggan bekerja sama. Mereka memilih bersikap pasif atau menunggu hingga masalah tuntas. Beberapa bahkan mundur sementara dari kemitraan dengan PWI. - Mandeknya Uji Kompetensi Wartawan (UKW)
Tidak diperkenankannya PWI menyelenggarakan UKW oleh Dewan Pers menghambat kaderisasi wartawan. Banyak calon anggota PWI akhirnya beralih ke lembaga uji lain. Jika seluruh 38 pengurus provinsi dan satu PWI istimewa menyelenggarakan satu UKW per tahun, potensi kehilangan UKW bisa mencapai 39 kali. Jika tiap UKW diikuti 24 peserta, PWI kehilangan ratusan calon anggota. - Gagalnya Mediasi Pemerintah
Upaya mediasi oleh Kementerian Hukum dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) belum membuahkan hasil. Kongres Dipercepat yang semula direncanakan pada 10 Desember 2024 hingga kini belum terealisasi, antara lain karena belum adanya kesepakatan peserta kongres akibat perpecahan di sejumlah daerah. - Dualisme Peringatan HPN
Puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2025 yang digelar di dua lokasi—Kalimantan Selatan dan Riau—menyebabkan kebingungan di kalangan anggota dan mitra. Tak sedikit yang akhirnya memilih tidak menyertakan logo HPN dalam ucapan resmi. - Penurunan Minat Wartawan
Ketidakjelasan penyelesaian konflik membuat minat wartawan untuk bergabung dengan PWI menurun. Banyak yang memilih bergabung dengan organisasi lain. - Persoalan Daerah
Konflik internal turut memicu berbagai persoalan di tingkat daerah yang tidak seluruhnya terungkap ke publik. - Lemahnya Advokasi dan Representasi
Banyak isu pers tidak terpantau optimal karena kedua kubu sibuk dengan konflik. Misalnya, absennya wakil PWI dalam pemilihan anggota Dewan Pers, minimnya advokasi kekerasan terhadap jurnalis, serta tidak dilibatkannya PWI dalam penyusunan regulasi.
Berdasarkan kecintaan terhadap organisasi dan persaudaraan antarpengurus serta anggota PWI, para aktivis tersebut menyerukan sejumlah alternatif penyelesaian.
Pertama mendorong rekonsiliasi antara kedua kubu, baik pusat maupun daerah, dengan semangat kekeluargaan dan kenegarawanan. Lalu menyelesaikan konflik melalui cara lain selain Kongres Dipercepat, dengan mengedepankan musyawarah dan kompromi.
Mewujudkan usulan Kementerian Komdigi untuk segera menggelar Kongres dipercepat. Menjadikan Surakarta—tempat lahirnya PWI—sebagai lokasi alternatif rekonsiliasi nasional.