SPcom JAKARTA – Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) AKBP Rossa Purbo Bekti kembali disorot lantaran melakukan tindakan yang menyimpang di lapangan untuk kasus dugaan korupsi Harun Masiku.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Pergerakan Advokat Nusantara menilai tindakan Rossa dkk yang menyimpang tersebut justru kontraproduktif dan destruktif bagi KPK sendiri.
Padahal, kata Petrus, perilaku Rossa dkk dalam penanganan kasus Harun Masiku itulah yang membuat Wakil Ketua KPK Alex Marwata buka kartu bahwa selama ini penyidik KPK bekerja berdasarkan arahan pihak eksternal.
“Bahkan secara khusus Alex Marwata meminta agar dalam penyidikan kasus Harun Masiku, Rossa dkk tidak bekerja atas arahan pihak eksternal,” jelas Petrus Selestinus SH, dalam rilisnya, Rabu (10/7/2024).
Di tengah keterpurukan KPK akibat kepercayaan publik merosot tajam karena minim prestasi, kata Petrus, terjadi defisit kapasitas pada sebagian penyidik, adanya loyalitas ganda dan buruknya hubungan antara KPK dan Polri, Kejaksaan dan lain-lain, membuat Rossa dkk makin “unlawful” di lapangan.
“Perilaku demikian jelas menjadi kontraproduktif dan destruktif, sebagaimana para pimpinan KPK telah akui dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, 1 Juli lalu bahwa selama ini KPK gagal memberantas korupsi antara lain karena penyidik memiliki loyalitas ganda,” sesalnya.
Menurut Petrus, peristiwa terbaru adalah apa yang dialami advokat Donny Tri Istiqomah ketika Rossa dkk melakukan upaya paksa, yaitu penggeledahan dan penyitaan di rumah Donny di Jakarta Selatan, Rabu (3/7/2024) lalu terkait perburuan Harun Masiku.
“Pada saat itu, lagi-lagi penyidik Rossa dkk tidak menunjukkan Surat Perintah Penggeledahan dan Penyitaan serta tidak menjelaskan apakah penggeledahan dan penyitaan ‘handphone’ milik Donny, istri dan anaknya dalam kapasitas Donny sebagai saksi atau tersangka?” tanyanya.
Bagi Petrus penjelasan soal status Donny menjadi penting karena penyidik tidak boleh seenaknya menyita barang dari orang yang bukan tersangka, dan atas barang yang bukan berasal dari hasil kejahatan atau barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan.
“Begitu pula dengan pengerahan penyidik KPK dalam jumlah besar (16 orang), Rabu (3/7/2024), di rumah Donny selama 4 jam, hanya untuk menyita HP dan menggeledah rumah, jelas ini ‘show of force’ dan berdampak intimidatif,” paparnya.
Selama ini, lanjut Petrus, penyidik KPK mengumbar pernyataan bohong kepada publik soal keberadaan Harun Masiku, dan mengaku sudah mencari ke mana-mana, namun tidak pernah bertemu buruannya.
“Ini jelas menghamburkan biaya besar untuk kerja-kerja melanggar hukum (unlawful) dan tidak profesional,” tukasnya.
“Saat ini, dengan segala cara, penyidik KPK bekerja seolah-olah tanpa acuan hukum acara di KUHAP dan hukum acara di UU No 19 Tahun 2019 tentang KPK, sehingga merugikan hak banyak pihak yang berurusan dengan KPK,” tegasnya.
Pengakuan Alex Marwata dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI pada 1 Juli lalu bahwa penyidik KPK punya loyalitas ganda dan bekerja berdasarkan arahan pihak eksternal, kata Petrus, hal itulah yang paling punya andil dalam merusak KPK.
“Penyidik Rossa dkk seharusnya sadar bahwa penggeledahan dan penyitaan barang bukti telah melanggar hukum acara, karena Donny jelas sebagai saksi, bukanlah tersangka,” cetusnya.
Petrus kemudian merujuk Pasal 35 KUHAP yang menyebut dalam keadaan mendesak, penyidik dapat melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya di tempat tersangka.
“Begitu pula dalam penjelasan Pasal 35 KUHAP bahwa keadaan yang sangat perlu dan mendesak adalah bilamana di tempat yang akan digeledah diduga keras terdapat tersangka atau terdakwa yang patut dikhawatirkan segera melarikan diri atau mengulangi tindak pidana atau benda yang dapat disita dikhawatirkan segera dimusnahkan atau dipindahkan dan seterusnya,” urainya.
Pertanyaan Petrus, apakah Donny sudah dijadikan tersangka atau ada kecurigaan Harun Masiku disebunyikan Donny di rumahnya?
Petrus menjelaskan, Pasal 37 KUHAP mengatur soal geledah dan sita pada tersangka, bahkan penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan tindak pidana bersangkutan.
“Pasal 39 KUHAP, yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; atau benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya,” tandasnya. (SP)